Oleh: Zulia IlmawatiPsikolog, Pemerhati Masalah Anak dan Remaja
Perdebatan tentang perlu-tidaknya pendidikan seks diberikan kepada anak bermula dari keprihatinan terhadap pergaulan remaja saat ini. Para pemerhati masalah remaja berpendapat, seks bebas yang sekarang ini menggejala salah satunya disebabkan karena pengetahuan remaja tentang seksualitas masih sangat rendah. Karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk memasyarakatkan pendidikan seks kepada remaja. Program-program pendidikan seks pun mulai digulirkan, bahkan ada yang berpendapat bahwa pendidikan seks seharusnya diberikan sedini mungkin. Jika perlu, di bangku prasekolah pun ada kurikulum yang membahas khusus tentang pendidikan seks. Benarkah sepenting itu pendidikan seks bagi anak? Bagaimana Islam memandang persoalan ini? Apa itu Pendidikan Seks?
Ada banyak pengertian tentang apa itu pendidikan seks, bergantung pada sudut pandang yang dipakai. Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan kepada anak sejak ia mengerti masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri, dan perkawinan. Dengan begitu, jika anak telah dewasa, ia akan dapat mengetahui masalah-masalah yang diharamkan dan dihalalkan; bahkan mampu menerapkan perilaku islami dan tidak akan memenuhi naluri seksualnya dengan cara-cara yang tidak islami.
Pendidikan seks di dalam Islam merupakan bagian integral dari pendidikan akidah, akhlak, dan ibadah. Terlepasnya pendidikan seks dengan ketiga unsur itu akan menyebabkan ketidakjelasan arah dari pendidikan seks itu sendiri, bahkan mungkin akan menimbulkan kesesatan dan penyimpangan dari tujuan asal manusia melakukan kegiatan seksual dalam rangka pengabdian kepada Allah. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan seks tidak boleh menyimpang dari tuntutan syariat Islam.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Orangtua manapun tentu selalu menginginkan anaknya menjadi anak yang baik. Anak adalah generasi yang diciptakan untuk kehidupan masa depan. Sepantasnyalah orangtua memberikan bekal berupa pendidikan yang menyeluruh, termasuk pendidikan seks. Orangtua dituntut memiliki kepekaan, keterampilan, dan pemahaman agar mampu memberi informasi dalam porsi tertentu, yang justru tidak membuat anak semakin bingung atau penasaran. Orangtua adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap anak dalam masalah pendidikan, termasuk pendidikan seks. Jadi, dalam hal ini, sesungguhnya tidak mutlak diperlukan adanya kurikulum khusus tentang pendidikan seks di sekolah-sekolah.
Pokok-Pokok Pendidikan Seks Perspektif Islam
Di antara pokok-pokok pendidikan seks yang bersifat praktis, yang perlu diterapkan dan diajarkan kepada anak adalah:
1. Menanamkan rasa malu pada anak.
Rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Jangan biasakan anak-anak, walau masih kecil, bertelanjang di depan orang lain; misalnya ketika keluar kamar mandi, berganti pakaian, dan sebagainya. Membiasakan anak perempuan sejak kecil berbusana Muslimah menutup aurat juga penting untuk menanamkan rasa malu sekaligus mengajari anak tentang auratnya.
2. Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak perempuan.
Secara fisik maupun psikis, laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan mendasar. Perbedaan tersebut telah diciptakan sedemikian rupa oleh Allah. Adanya perbedaan ini bukan untuk saling merendahkan, namun semata-mata karena fungsi yang berbeda yang kelak akan diperankannya. Mengingat perbedaan tersebut, Islam telah memberikan tuntunan agar masing-masing fitrah yang telah ada tetap terjaga. Islam menghendaki agar laki-laki memiliki kepribadian maskulin, dan perempuan memiliki kepribadian feminin. Islam tidak menghendaki wanita menyerupai laki-laki, begitu juga sebaliknya. Untuk itu, harus dibiasakan dari kecil anak-anak berpakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Mereka juga harus diperlakukan sesuai dengan jenis kelaminnya. Ibnu Abbas ra. berkata:
Rasulullah saw. melaknat laki-laki yang berlagak wanita dan wanita yang berlagak meniru laki-laki. (HR al-Bukhari).
3. Memisahkan tempat tidur mereka.
Usia antara 7-10 tahun merupakan usia saat anak mengalami perkembangan yang pesat. Anak mulai melakukan eksplorasi ke dunia luar. Anak tidak hanya berpikir tentang dirinya, tetapi juga mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya. Pemisahan tempat tidur merupakan upaya untuk menanamkan kesadaran pada anak tentang eksistensi dirinya. Jika pemisahan tempat tidur tersebut terjadi antara dirinya dan orangtuanya, setidaknya anak telah dilatih untuk berani mandiri. Anak juga dicoba untuk belajar melepaskan perilaku lekatnya (attachment behavior) dengan orangtuanya. Jika pemisahan tempat tidur dilakukan terhadap anak dengan saudaranya yang berbeda jenis kelamin, secara langsung ia telah ditumbuhkan kesadarannya tentang eksistensi perbedaan jenis kelamin.
4. Mengenalkan waktu berkunjung (meminta izin dalam 3 waktu).
Tiga ketentuan waktu yang tidak diperbolehkan anak-anak untuk memasuki ruangan (kamar) orang dewasa kecuali meminta izin terlebih dulu adalah: sebelum shalat subuh, tengah hari, dan setelah shalat isya. Aturan ini ditetapkan mengingat di antara ketiga waktu tersebut merupakan waktu aurat, yakni waktu ketika badan atau aurat orang dewasa banyak terbuka (Lihat: QS al-Ahzab [33]: 13). Jika pendidikan semacam ini ditanamkan pada anak maka ia akan menjadi anak yang memiliki rasa sopan-santun dan etika yang luhur.
5. Mendidik menjaga kebersihan alat kelamin.
Mengajari anak untuk menjaga kebersihan alat kelamin selain agar bersih dan sehat sekaligus juga mengajari anak tentang najis. Anak juga harus dibiasakan untuk buang air pada tempatnya (toilet training). Dengan cara ini akan terbentuk pada diri anak sikap hati-hati, mandiri, mencintai kebersihan, mampu menguasai diri, disiplin, dan sikap moral yang memperhatikan tentang etika sopan santun dalam melakukan hajat.
6. Mengenalkan mahram-nya.
Tidak semua perempuan berhak dinikahi oleh seorang laki-laki. Siapa saja perempuan yang diharamkan dan yang dihalalkan telah ditentukan oleh syariat Islam. Ketentuan ini harus diberikan pada anak agar ditaati. Dengan memahami kedudukan perempuan yang menjadi mahram, diupayakan agar anak mampu menjaga pergaulan sehari-harinya dengan selain wanita yang bukan mahram-nya. Inilah salah satu bagian terpenting dikenalkannya kedudukan orang-orang yang haram dinikahi dalam pendidikan seks anak. Dengan demikian dapat diketahui dengan tegas bahwa Islam mengharamkan incest, yaitu pernikahan yang dilakukan antar saudara kandung atau mahram-nya. Siapa saja mahram tersebut, Allah Swt telah menjelaskannya dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 22-23.
7. Mendidik anak agar selalu menjaga pandangan mata.
Telah menjadi fitrah bagi setiap manusia untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Namun, jika fitrah tersebut dibiarkan bebas lepas tanpa kendali, justru hanya akan merusak kehidupan manusia itu sendiri. Begitu pula dengan mata yang dibiarkan melihat gambar-gambar atau film yang mengandung unsur pornografi. Karena itu, jauhkan anak-anak dari gambar, film, atau bacaan yang mengandung unsur pornografi dan pornoaksi.
8. Mendidik anak agar tidak melakukan ikhtilât.
Ikhtilât adalah bercampur-baurnya laki-laki dan perempuan bukan mahram tanpa adanya keperluan yang diboleh-kan oleh syariat Islam. Perbuatan semacam ini pada masa sekarang sudah dinggap biasa. Mereka bebas mengumbar pandangan, saling berdekatan dan bersentuhan; seolah tidak ada lagi batas yang ditentukan syariah guna mengatur interaksi di antara mereka. Ikhtilât dilarang karena interaksi semacam ini bisa menjadi mengantarkan pada perbuatan zina yang diharamkan Islam. Karena itu, jangan biasakan anak diajak ke tempat-tempat yang di dalamnya terjadi percampuran laki-laki dan perempuan secara bebas.
9. Mendidik anak agar tidak melakukan khalwat.
Dinamakan khalwat jika seorang laki-laki dan wanita bukan mahram-nya berada di suatu tempat, hanya berdua saja. Biasanya mereka memilih tempat yang tersembunyi, yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Sebagaimana ikhtilât, khalwat pun merupakan perantara bagi terjadinya perbuatan zina. Anak-anak sejak kecil harus diajari untuk menghindari perbuatan semacam ini. jika bermain, bermainlah dengan sesama jenis. Jika dengan yang berlainan jenis, harus diingatkan untuk tidak ber-khalwat.
10. Mendidik etika berhias.
Berhias, jika tidak diatur secara islami, akan menjerumuskan seseorang pada perbuatan dosa. Berhias berarti usaha untuk memperindah atau mempercantik diri agar bisa berpenampilan menawan. Tujuan pendidikan seks dalam kaitannya dengan etika berhias adalah agar berhias tidak untuk perbuatan maksiat.
11. Ihtilâm dan haid.
Ihtilâm adalah tanda anak laki-laki sudah mulai memasuki usia balig. Adapun haid dialami oleh anak perempuan. Mengenalkan anak tentang ihtilâm dan haid tidak hanya sekadar untuk bisa memahami anak dari pendekatan fisiologis dan psikologis semata. Jika terjadi ihtilâm dan haid, Islam telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan masalah tersebut, antara lain kewajiban untuk melakukan mandi. Yang paling penting, harus ditekankan bahwa kini mereka telah menjadi Muslim dan Muslimah dewasa yang wajib terikat pada semua ketentuan syariah. Artinya, mereka harus diarahkan menjadi manusia yang bertanggung jawab atas hidupnya sebagai hamba Allah yang taat.
Itulah beberapa hal yang harus diajarkan kepada anak berkaitan dengan pendidikan seks. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.
0 comments:
Post a Comment